Apa Penyebab Suami Suka Marah Marah
Jangan Pernah Takut untuk Pergi
Perempuan sering kali takut meninggalkan pertengkaran yang memanas karena tahu betul bahwa itu mungkin berakhir dengan kekerasan fisik. Meskipun terbukti bahwa kamu menghargai pasangan, kamu harus lebih memperhatikan keselamatan diri sendiri dan pergi tepat waktu sebelum pertengkaran itu berujung pada perkelahian.
Jika kamu telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan seksual dalam pernikahan, maka kamu harus menghubungi pihak berwenang setempat untuk meminta bantuan. Jangan pernah takut berjalan menjauh dari situasi yang buruk, karena kamu dapat membangun kembali hidup menjadi lebih bahagia.
Punya pasangan yang suka marah-marah tentu bikin hati jadi jengkel bukan kepalang. Apalagi kalau pasangan mulai menyalahkan Anda terus-terusan, maka pertengkaran ini tentu sudah tidak sehat lagi dan harus segera dihentikan. Ketimbang balik emosi yang justru bisa memperparah keadaan, sebaiknya cari tahu dulu penyebab pasangan marah berikut ini.
Gangguan kepribadian narsistik
Jika pasangan Anda suka marah-marah karena hal sepele atau bahkan tanpa sebab, bisa jadi pasangan Anda mengalami gangguan kepribadian narsistik. Hal ini disampaikan oleh Steven Stosny, Ph. D, seorang konsultan kekerasan keluarga sekaligus penulis How to Improve Your Marriage Without Talking About It and Love Without Hurt.
Menurut Steven Stosny, sudah ratusan klien yang mengeluhkan pasangannya marah karena mengidap gangguan kepribadian ini. Orang dengan gangguan kepribadian narsistik menganggap dirinya jauh lebih penting dari orang lain, tapi cenderung cuek alias empatinya rendah terhadap orang lain. Ketika dirinya mendapatkan sedikit kritikan dari orang lain, kepercayaan dirinya akan mudah runtuh dan melampiaskannya dengan amarah.
Stereotipe yang berkembang di masyarakat menyebut makin tua seseorang makin galak dan sinis pula tabiatnya. Apakah secara sains hal ini benar?
Stigma galak yang melekat pada orang tua mungkin seringkali secara kebetulan terafirmasi oleh kejadian di sekitar kita.
Hal itu ditambah dengan cerita orang sekitar yang memiliki pengalaman sama membuat stereotipe tersebut semakin melekat. Stigma ini seperti gulungan bola salju yang semakin besar oleh pengalaman-pengalaman serupa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebuah studi di Swiss oleh para peneliti Jerman, Harm-Peer Zimmermann dan Heinrich Grebe, mengungkap sebaliknya.
Para peneliti mengidentifikasi dua periode usia dengan kondisi lansia yang digambarkan dengan cara yang sangat berbeda. Yang pertama adalah dari usia 65 hingga 80 tahun yang digambarkan cenderung positif; peluang untuk realisasi diri yang lebih besar setelah pensiun.
Kedua, lansia di atas 80 tahun, yang pesimistis, kemunduran fisik dan mental yang cepat, demensia, hilangnya identitas dan martabat.
Dari sejumlah responden, peneliti menemukan semacam "kesejukan senior" (senior coolness) sebagai bentuk kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi terbatas di masa tua. Misalnya, tidak marah tentang kehilangan dan keterbatasan, dan memandang semuanya dengan bumbu humor.
Para peneliti juga menggambarkan ini sebagai upaya mereka untuk "tidak membiarkan diri sendiri terlempar dari langkahnya akibat kesengsaraan usia tua."
Menariknya, contoh kesejukan senior tampaknya tidak terkait dengan keadaan kehidupan tertentu. Contoh ini ditemukan pada wanita dan pria, individu berpenghasilan tinggi dan rendah, individu yang difabel dan tidak difabel, dan mereka yang tinggal di permukiman atau pun panti jompo.
Kepribadian orang-orang usia tua ini cenderung matang karena neurotisisme manusia menurun dan keramahannya meningkat.
Meski demikian, sebuah penelitian lain dari ilmuwan Denmark-Amerika Serikat (AS) Erik Erikson menyebut mereka yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki perang psikologis antara integritas dan rasa putus asa.
Dia menyebut usia senja adalah tahap terakhir dari teori delapan tahap perkembangan hidup yang dikemukakannya.
Dilansir dari ScienceFocus, Erikson menjelaskan bahwa orang tua memandang hidup mereka dengan kekecewaan dan penyesalan, maka keputusasaan akan menang, sehingga memicu kepahitan dan membuatnya menjadi sosok yang galak serta pemarah.
Sebaliknya, orang tua yang menyadari bahwa mereka melakukan yang terbaik yang mereka bisa dan melihat hidup mereka dengan penerimaan dan penuh makna, maka mereka menghindari kepahitan dan malah menikmati perasaan kebijaksanaan.
SERAMBINEWS.COM - Dalam kehidupan berumah tangga, tidak selamanya berjalan harmonis dan mulus tanpa adanya cobaan.
Pastilah ada masalah yang menghampiri sebuah rumah tangga, baik dari masalah komunikasi yang tidak baik antara suami dan istri hingga masalah dalam anggota keluarga itu sendiri.
Masalah dalam anggota keluarga misalnya, istri tidak tahan terhadap sikap suami yang suka marah dan tempramental.
Pria dengan temperamen tinggi biasanya akan bereaksi secara berlebihan terhadap situasi ketika dia sedang marah.
Tidak hanya sekali atau dua kali, ada seorang suami yang sering marah-marah hingga istrinya tidak betah lagi tinggal di rumah bahkan ada yang langsung memutuskan untuk bercerai.
Lantas, bagaimana sikap istri menghadapi suami yang suka marah dan tempramental, haruskah istri minta cerai?
Baca juga: Dianggap Sepele! dr Aisyah Dahlan Ungkap Dua Hal Ini Bisa Buat Suami Marah dan Benci pada Istri
Baca juga: 3 Tips Berbicara dengan Orang Tua Menurut Buya Yahya, Harus Perlihatkan Wajah Ceria dan Senang
Baca juga: Menurut Penelitian, Suami Senang Jika Istrinya Minta Uang, dr Aisyah Dahlan: Tapi Mintanya Manja Ya!
Sikap istri dalam menyikapi suami yang suka marah-marah dan memiliki sikap tempramental, Buya menyarankan agar istri tersebut mengoreksi diri terlebih dahulu.
Sebab katanya, bisa saja seorang suami marah atau nekat berbuat dzalim kepada istri karena ketelodoran istri dalam melaksanakan kewajiban kepada suami, atau seorang istri melakukan sesuatu kesalahan yang tidak ia rasa namun amat menyakitkan suami.
"Jika demikian adanya, maka seorang istrilah yang perlu berbenah diri terlebih dahulu sebelum menuntut sang suami berbenah," kata Buya seperti dikutip Serambinews.com dari laman resmi tanya jawab Buya Yahya, Senin (3/1/2022).
Lanjut Buya, cara tersebut merupakan cara pertama yang dapat menyelesaikan masalah dalam berumah tangga antara suami dan istri, namun sering kali dilupakan.
Jika ternyata memang sifat dan perilaku suami adalah dzalim dengan marah tanpa sebab serta melampiaskanya amarah tersebut dengan cara dzalim seperti memukul atau mencaci maki yang menyakitkan, hal yang demikian tentu amat mengganggu keindahan dalam berumah tangga, kata Buya menambahkan.
Jika sikap suami seperti itu, maka seorang istri mempunyai dua pilihan.
Baca juga: 4 Cara Ikhlas Memaafkan Suami yang Selingkuh Menurut dr Aisyah Dahlan Ungkap, Istri Wajib Tahu
Baca juga: Cara Menghadapi Suami yang Selingkuh, Buya Yahya Anjurkan Istri Lakukan Hal Ini untuk Kebaikan
Baca juga: Istri Wajib Tahu! dr Aisyah Dahlan Ungkap Cara Memaafkan Suami yang Telah Berkhianat dan Berbohong
Petama, istri harus bersabar dan berusaha untuk merubahnya dan sungguh ini adalah suatu kemuliaan yang agung.
Kedua sambung Buya, jika memang istri tidak mampu untuk bersabar maka ia bisa minta cerai karena seseorang tidak boleh dipaksa untuk bertahan di bawah kedzaliman.
Sebab salah satu sebab diperkenankannya seorang istri meminta cerai adalah jika ia benar-benar didzalimi suami.
"Wallahu a’lam bish-shawab," pungkas Buya Yahya. (Serambinews.com/Firdha Ustin)
Baca juga berita lainnya
Baca juga: Diperiksa Polda Jabar, Pesan Habib Bahar jika Ditahan, Minta Umat Tetap Berjuang Sampaikan Kebenaran
Baca juga: Suami Bacok Istri saat Berhubungan Badan dengan Sepupu, Si Pria Lompat Lewat Jendela Tanpa Busana
Baca juga: Setahun Lebih Kosong, Jabatan Kepala Bappeda Pidie Dipastikan Segera Diisi
Seri Tanya Jawab Enlightening Parenting
Nara Sumber : Sutedja Eddy Saputra dan Okina Fitriani
Punya suami yang suka marah dan memukul anak? Bagaimana menyikapi dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal yang demikian?
Mari simak poin-poin yang dirangkum dari sesi tanya jawab materi PERAN AYAH dalam Training Enlightening Parenting di Surabaya 7-8 April 2018, bersama nara sumber Sutedja Eddy Saputra dan Okina Fitriani.
Tanya : Suami saya dididik dengan keras oleh orangtuanya dengan hukuman fisik . Salah satunya, pernah kepalanya dibenturkan ke tembok oleh orangtuanya. Ketika menikah, kami sering mengalami perbedaan pendapat dalam hal cara mendidik anak. Suami saya bersikeras bahwa anak harus dikerasi. Saat dia marah dan melakukan hukuman fisik pada anak, saya langsung meng-interupsi, karena saya tak tega pada anak. “Jangan, jangan di pukul!” Begitu saya katakan pada suami. Padahal saya tahu, tidak boleh berbeda pendapat di hadapan anak. Saya sudah memberi tahu suami, tetapi di lain waktu masih saja suami berkeras harus mendisiplinkan anak dengan hukuman fisik. Bagaimana cara mengatasi hal ini ?
Jawab (Sutedja Eddy Saputra ) : Ini masalahnya sangat simple sebenarnya. Seharusnya suami ikut belajar parenting di ruangan ini hari ini. Kalau dia tidak mau belajar, maka tugas istri melakukan persuasi agar suami mau. Memang banyak usaha yang harus dilakukan istri. Ini kasusnya mirip dengan pengalaman saya dulu. Istri saya butuh waktu 2 tahun melakukan upaya persuasi sampai akhirnya saya bersedia belajar parenting, lalu menyadari kesalahan saya.
Selain itu, hal ini terjadi karena belum punya visi misi keluarga yang dibuat dan disepakati bersama. Sama persis dengan pengalaman saya dulu. Saya belum belajar parenting, tidak punya visi misi keluarga, sehingga saya maunya mendidik anak dengan cara saya yang keras, sementara istri sudah tahu bagaimana cara mendidik anak dengan benar.
Kalau sudah ada visi-misi keluarga, artinya sudah ada aturan bagaimana ayah memainkan perannya , bagaimana ibu menjalankan perannya. Apa saja kesepakatan yang harus dijalankan dalam pengasuhan anak.
Lalu, karena istri yang sudah belajar parenting lebih dulu, maka istri harus memberi contoh untuk berubah. “Ini lho contoh mendidik anak dengan cara yang lebih baik. “
Apa bedanya mendidik dengan dan tanpa kekerasan?
Dulu ketika saya mendidik anak dengan keras, anak itu melakukan perlawanan. Mereka tidak langsung nurut. Saya harus marah dulu, harus memukul dulu, baru mereka melakukan apa yang saya inginkan. Tapi ketika saya tidak ada, maka pelanggaran kembali terjadi. Intinya, mereka hanya takut pada saya, bukan taat pada aturan.
Sebaliknya, ketika anak dididik dengan kasih sayang, ketika orangtua dan anak membuat objektif bersama-sama, ternyata mereka bisa jauh lebih berkomitmen. Sehingga mendidik anak menjadi lebih mudah. Mendisiplinkan anak ternyata tidak harus dengan cara kekerasan.
Mbak Okina dan suaminya, Mas Ronny, sangat berhati-hati dalam memilih kata sehingga sangat jarang berkata keras pada anak. Tapi saya lihat sendiri bagaimana hasilnya, karena saya pernah beberapa kali berkesempatan bersama keluarga mereka. Diingatkan dengan kata-kata lemah lembut saja, anaknya sudah mengerti.
Beberapa waktu lalu saat di sebuah sharing session, ada seorang ibu yang bertanya. Anaknya yang masih di usia SD, memukuli teman-temannya. Ternyata, ayah sang anak adalah seorang t*****a yang mendidik anaknya dengan kekerasan, dengan maksud supaya anaknya disiplin. Padahal, sang ayah menerima pendidikan disiplin yang keras itu setelah menjadi t*****a di usia yang sekurang-kurangnya 18 tahun, usia di mana dia sudah siap menerima kedisiplinan dalam pendidikan yang keras seperti itu. Sedangkan anaknya kan masih jauh dibawah itu . Tidak bisa disamakan, mendidik anak-anak usia 7-8 tahun dengan mendidik t*****a yang usianya sudah 18 tahun. Inilah pentingnya orangtua paham ilmu parenting sehingga bisa mendidik anak dengan benar.
Jawab (Okina Fitriani) : Saya tambahkan sedikit ya. Sebenarnya suami yang suka memukul, suami yang perkataan atau ucapannya jelek, bicaranya bad word, itu karena tangki cintanya kosong. Maka tugas siapa mengisi tangki cinta sang suami? Apa sang istri mesti bilang begini,
“Sana! Balik ke orangtuamu sana! Aku nggak mau dekat-dekat kamu! Karena kamu suka memukul anakku!”
Buya Yahya Ungkap Penyebab Umum Suami Gampang Marah ke Istri, Ada Indikasi Masalah Mental?
SERAMBINEWS.COM - Dalam menjalani bahtera rumah tangga, pasangan suami istri atau pasutri penting sekali pandai dalam mengendalikan emosi.
Menurut pendakwah Buya Yahya, setiap pasutri penting sekali mengetahui tips mengendalikan emosi dan mental dalam rumah tangga.
Hal ini bertujuan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan hingga berujung pada perceraian.
Beberapa pasutri bahkan kita temukan sering bertengkar karena kesalahan-kesalahan kecil. Kondisi ini perlu diperhatikan karena bisa jadi ada masalah mental pada orang tersebut.
Maka dari itu, penting sekali kita mengetahui bagaimana cara mengendalikan emosi dan mental di dalam rumah tangga,
Dalam sebuah video yang diunggah kanal YouTube Al Bahjah TV, Buya Yahya membahas mengapa seseorang mudah emosi dan pemarah, terutama dalam hubungan dengan pasangan hidupnya.
Baca juga: Bagaimana Hukum Mengerjakan Shalat Isya Larut Malam Bareng dengan Tahajud? Ini Penjelasan Buya Yahya
Buya Yahya juga memberikan wawasan tentang bagaimana masalah kecil bisa menjadi besar dan memberikan solusi untuk mengatasi emosi yang berlebihan.
Berikut tips mengendalikan emosi dan mental dalam rumah tangga menurut Buya Yahya.
1. Mengenali Diri Sendiri
Buya Yahya mengajak kita untuk introspeksi diri.
Dia menjelaskan bahwa kecenderungan untuk mudah emosi dan pemarah bukanlah tanda hati yang kotor, melainkan bisa jadi adalah masalah mental. Ini adalah langkah pertama yang penting, yaitu mengenali masalah dalam diri kita sendiri.
Buya Yahya menekankan pentingnya mengontrol emosi kita, terutama dalam hubungan dengan pasangan hidup.
Pernikahan sepatutnya bisa menjadi momen saling terbuka dan berkomunikasi. Tapi bagaimana jika suami sering marah dan emosi?
Sebelum balik marah, coba Bunda bantu pikirkan kembali apa saja hal yang mungkin menjadi penyebabnya. Dengan demikian, mungkin suami bisa belajar introspeksi diri dan mengendalikan emosinya.
Ya, ada beberapa hal yang tanpa disadari bisa menjadi penyebab suami sering marah. Berikut rangkumannya:
Merasa gagal dan terganggu secara psikis
Saat seseorang merasa gagal, kecewa, dan kesal, secara fisik tubuh akan mengalami perubahan. Mulai dari denyut jantung yang jadi semakin cepat, hingga pelepasan hormon adrenalin dan kortisol. Hal ini jika dibiarkan berlarut-larut dapat membuat emosi semakin tak terkendali.
Jika suami termasuk tipe yang sulit mengendalikan emosi, hal ini bahkan bisa membuatnya jadi mudah berteriak, membanting barang atau mendadak diam demi melampiaskannya.
Trauma menjadi salah satu masalah psikis yang juga bisa membuat suami sering marah, terutama yang berkaitan dengan masa anak-anak atau remaja. Coba perhatikan apakah tipe keluarganya juga cenderung mudah marah dan sulit mengendalikan emosi?
Apabila suami sering mendapatkan perlakuan kasar dari keluarganya saat anak-anak, besar kemungkinan kelak ia pun akan jadi mudah marah saat dewasa.
Dikutip dari Psychology Today, trauma saat proses tumbuh kembang berkaitan dengan masalah mental termasuk kemarahan, kesedihan, dan emosi yang sulit dikendalikan.
Dilansir Men Alive, pria dan wanita mengungkapkan stres dengan cara berbeda. Wanita cenderung lebih mudah menunjukkan pada orang banyak, sementara pria tidak. Memendam stres ini yang lama-kelamaan dapat membuat sedih dan tertekan, sehingga berujung pada marah.
Maka dari itu, suami pun biasanya akan lebih mudah menyalahkan diri sendiri ketika keluarganya mengalami masalah.
Rasa kesepian dan kurang diperhatikan apabila didiamkan juga bisa memicu rasa marah. Coba introspeksi diri dulu, apakah selama ini mungkin Bunda jarang memberikan perhatian untuk suami? Bisa jadi marah merupakan caranya untuk mendapatkan perhatian, lho.
Mungkin wajar jika kamu ingin menyampaikan kesedihan kepada ibu mertua atau mungkin ipar perempuan. Namun, mungkin saja mereka belum pernah menyaksikan sisi suamimu yang seperti itu. Oleh karena itu, penilaian mereka mungkin kabur dan dalam kasus terburuk, mereka mungkin menolak untuk mempercayaimu ketika kamu berbicara tentang masalah kemarahan suamimu. Oleh karena itu, kamu harus memiliki sistem pendukung dari teman atau kerabatmu sendiri di luar nikah yang dapat kamu percayai.
Ekspektasi terlalu tinggi
Penulis buku Emotions Revealed, Paul Ekman, PhD, mengungkapkan bahwa harapan dan ekspektasi tinggi juga bisa memicu marah.
"Ada berbagai macam perasaan marah, termasuk akibat dari kecewa terhadap harapan diri sendiri. Kondisi ini juga bisa berujung pada keputusasaan, terutama pada orang yang berharap dan mencoba secara berlebihan," tutur Ekman.
Untuk membantu mengendalikan marah dan emosinya, lebih baik tunggu sampai suami tenang dan ajak diskusi berdua ya, Bunda.
Simak juga video menguak fakta emosi karena lapar:
[Gambas:Video Haibunda]
Kenapa pasangan marah dan gampang emosi?
Hubungan yang sehat itu bukan berarti tidak pernah dibumbui dengan pertengkaran atau berselisih pendapat. Bertengkar dengan pasangan itu hal yang biasa, tapi sebaiknya tidak dibiarkan berlarut-larut dan segera diselesaikan dengan kepala dingin.
Wajar saja kalau pasangan marah dan gampang emosi saat pikirannya sedang penat. Akan tetapi, jika ini terjadi berhari-hari, Anda mungkin jadi bingung dan mulai menebak-nebak penyebabnya.
Berikut ini berbagai penyebab pasangan marah dan gampang emosi, yaitu:
Pikiran yang penat dan stres berkepanjangan adalah penyebab pasangan marah yang paling umum. Tanpa disadari, amarah memiliki efek yang mirip seperti amfetamin dan analgesik, dua zat yang dapat meningkatkan energi dan menghilangkan rasa sakit.
Saat sedang stres, Anda akan merasakan denyut jantung meningkat, pernapasan lebih cepat, otot menegang, dan tekanan darah Anda naik. Untuk mengatasinya, respon fisiologis tersebut akan mengeluarkan reaksi amarah untuk memunculkan efek amfetamin dan analgesik tadi.
Efek amfetamin dan analgesik ini akan memberikan lonjakan energi dan meningkatkan kepercayaan diri Anda. Itulah mengapa, beberapa orang yang stres lebih memilih untuk menumpahkannya lewat amarah supaya dirinya merasa lebih baik setelahnya.
Saat pasangan Anda jadi lebih sering marah dan gampang emosian, mungkin saja pasangan Anda sedang dilanda kekecewaan. Akan tetapi, jangan dulu buru-buru menyalahkan diri Anda, ya. Sebab, bisa jadi pasangan Anda sedang merasa kecewa dengan teman kantor, keluarga, atau orang lain di sekitarnya.
Dikutip dari Psychology Today, orang yang sering marah-marah cenderung mudah tersinggung, sensitif, dan bahkan menganggap dunia tidak adil kepadanya. Contohnya begini, pasangan Anda baru saja menerima proyek besar yang harus dikerjakan bersama rekan kerjanya. Saat proyek ini berhasil, atasannya justru memuja-muji rekan kerjanya ketimbang dirinya. Tak heran pasangan Anda merasa kecewa dan menganggap ini tidak adil baginya.
Semakin tinggi ekspektasi yang diharapkan, maka semakin besar pula kekecewaan yang dirasakan. Akibatnya, Anda yang menjadi bulan-bulanan saat pasangan marah.
Coba ingat lagi, apakah komunikasi Anda dan pasangan kurang intens akhir-akhir ini? Jika iya, bisa jadi inilah penyebab pasangan marah dan gampang emosi kepada Anda.
Ingat, komunikasi dengan pasangan adalah kunci penting dalam suatu hubungan. Saat Anda atau pasangan tidak saling terbuka atau menutup-nutupi sesuatu, salah satunya tentu akan merasa dibohongi dan akhirnya menuduh satu sama lain. Lama-lama, reaksi negatif ini akan mengikis empati dalam diri pasangan dan memunculkan amarah.
Baik atau buruknya suasana hati Anda saat ini, tetap komunikasikan pada pasangan dan mintalah ia melakukan hal yang sama. Ingat, pasangan Anda juga ingin didengar, lho.
Tunjukkan minat dan perhatian Anda secara penuh, contohnya dengan menunjukkan ekspresi wajah yang menenangkan, suara yang lembut, dan genggam tangannya erat-erat.
Setelah itu, utarakan keinginan satu sama lain dan cari jalan keluar bersama. Dengan begitu, masalah yang ada akan terselesaikan dengan mudah tanpa harus saling tarik urat.